Posts Tagged ‘Fiqih’

Syariah Islam : Hukum Forex,Valas,Saham

FOREX dalam hukum ISLAM

بســـــــماللهالرحمنالرحيـــــــم

Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.

Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.

TRANSAKSI VALAS dalam HUKUM ISLAM

1. Ada Ijab-Qobul: —> Ada perjanjian untuk memberi dan menerima • Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. • Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. • Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)

2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: • Suci barangnya (bukan najis) • Dapat dimanfaatkan • Dapat diserahterimakan • Jelas barang dan harganya • Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya • Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama.

لاتشترواالسمكفیالماءفاءنهغرد

“Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan”. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas’ud)

Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:

منسترئشيتالميرهفلهالخيارإذاراه

Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”.

Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual.

Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam:

المشقةتجلبالتيسر

Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus/tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.

JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM

Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri.

Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77)

FATWA M.U.I TENTANG PERDAGANGAN VALAS

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 28/DSN-MUI/III/2002, tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).

MENIMBANG :

a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.

b. Bahwa dalam ‘urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.

c. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT :

” Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

” Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)’ (HR. al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

” Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”.

” Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: “(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”..

” Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.

” Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam : Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).

” Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

” Ijma. Ulama sepakat (ijma’) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu.

MEMPERHATIKAN:

1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878

2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.

MEMUTUSKAN

Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF).

Pertama : Ketentuan Umum

Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

a.Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).

b.Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).

c.Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).

d.Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.

Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing

a.Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.

b.Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2×24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

c.Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

d.Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA

Hukum Melafalkan Niat dalam Shalat

Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.

Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was was (ragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was was.

Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).

Memang ketika Nabi Muhammad SAW  melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat.  Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.

Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:

وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ

“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)

Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syri’at Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.

source :

H.M.Cholil Nafis, MA.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
di ambil dari nu.or.id

Shalat Sunah Maghrib-Isya

DIANTARA MAGHRIB – ISYA DAN KEUTAMAAN DZIKIR

SETELAH SHOLAT MAGRIB HINGGA ISYA

Ø Sabda Rasulullah Saw :

“Barangsiapa shalat sehabis Maghrib enam raka’at saja dengan tidak diselingi bercakap-cakap, maka pahalanya sebanding dengan ibadah dua belas tahun”.(H.R. Bukhari Muslim)

Ø Abu Hurairah ra, mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda :

“Barangsiapa melaksanakan shalat setelah Maghrib enam raka’at, ia tidak bicara kejelekkan pada waktu itu, maka baginya pahala ibadah sebanding dua belas tahun”.(H.R. Ibnu Majah Ibnu Huzaimah dan Tirmizi)

Ø Hadis riwayat Aisyah :

“Barangsiapa melakukan sholat dua puluh raka’at setelah maghrib, maka Allah akan membangun baginya satu rumah di surga”. (H.R Ibnu Majah dan Tirmizi)

Ø Sabda Rasulullah Saw :

“Barangsiapa yang sholat antara Maghrib dan Isya dua puluh raka’at maka Allah dirikan untuknya gedung di surga”. (Al-Hadits)

Ø Huzhaifah ra, berkata :

“Aku mendatangi Nabi Saw lalu aku shalat Maghrib bersama Nabi hingga shalat Isya”. (H.R. Nasa’i)

Ø Abu Syaikh meriwayatkan hadis dari Zubair ra :

“Barangsiapa duduk berdzikir setelah shalat Maghrib hingga shalat Isya, nilai duduknya itu sama dengan perang dijalan Allah. Dan barangsiapa duduk berdzikir setelah shalat subuh hingga matahari terbit, nilainya sama dengan pergi berjuang dijalan Allah”.

Ø Hadis riwayat Ibnu Hibban :

“Perbanyaklah dzikir (ingat) kepada Allah sehingga orang-orang mengatakan bahwa (kamu) adalah orang gila”.

Ø Sabda Rasulullah Saw :

“Maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai amal-amal kalian yang paling baik, yang paling suci disisi Tuhan kalian, yang dapat meningkatkan keluhuran derajat kalian, yang lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan yang lebih baik bagi kalian daripada bertemu dengan musuh kalian sehingga kalian memukul leher-leher mereka dan mereka memukul leher-leher kalian?”Mereka (para sahabat) berkata : “Baiklah, wahai Rasulullah!”Beliau bersabda : “Dzikir (ingat) kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Luhur”.

(H.R Muslim, Nasa’i dan Bazzar ra)

Sholat-sholat sunnat antara Maghrib – Isya :

§ Shalat sunnat ba’da Maghrib (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Awwabin (khusus awwabin saja)  (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Awwabin serta Hifdhil Iman  ( dua raka’at )

§ Shalat sunnat Awwabin serta Istikharah  (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Hajat  (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Birrulwaalidaini (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Halala-Hajati (Saefi) (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Lidafil Bala’i  (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Ikhlas  (dua raka’at)

§ Shalat sunnat Muthlaq ( dua raka’at )

Atau :

§ Sunnat ba’da Maghrib (dua raka’at)

§ Sunnat Awwabin (enam raka’at atau paling sedikit dua raka’at)

§ Sunnat Taubat (dua raka’at)

§ Sunnat Birrulwalidaini (untuk kebaikan dan keselamatan orang tua didunia dan akherat) ( dua raka’at)

§ Sunnat Lihifdhil Iman (untuk menjaga keimanan kita sampai hari qiamat) ( dua raka’at )

§ Sunnat Lisyukri Nikmat (dua raka’at)

” Jangan sia-siakan waktumu karena waktu itu

sangat mahal “

Hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum

HUKUM MEMBACA SURAT AL-FATIHAH BAGI MAKMUM

a. Ulama Hanafiyah melarang makmum membaca fatihah secaramutlaq

Dengan alasan :

1. Nash Al-Qur’an yaitu firman Allah SWT :

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf (7) : 204)

2. Hadits yang diriwayatkan oleh abu Hanifah dari Abdullah bin Syaddaad dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwa rosululloh SAW, bersabda :

Man sholla kholfa imaamin fa inna qiroo’atal imaami lahu qiroo’atun

Artinya :

“Barangsiapa yang mengerjakan sholat dibelakang imam (bermakmum), maka sesungguhnya bacaan imam adalah menjadi bacaannya.”

b. Ulama Syafi’iyah mewajibkan secara mutlaq.

1. Firman Allah SWT :

“Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzzammil (83) : 20)

2. Al-Hadits

a. Sesungguhnya rosululloh SAW, bersabda :

“ Laa sholaata illa biqiroo’atin “

Artinya :

“Tidaklah sah sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

b. Rosululloh SAW, bersabda

“ Laa sholaata liman lam yaqro bifaatihatil kitaab “

Artinya :

“Tidak ada sholat (tidak sah), kecuali dengan bacaan Fatihah”

(HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad dari ‘Ubaadah bin Shamit).

c. Juga ulama Syafi’iyah yang berpegang lagi dengan Hadits Abu Hurairoh, yang diangkatnya :

“Barangsiapa yang sholat yang didalamnya tanpa membaca ummul kitab (fatihah), maka sholat itu kurang, tegasnya tidak sempurna.”

Perawi Hadits itu berkata : “Wahai Abu Hurairoh! Sungguh kadang-kadang aku sholat dibelakang imam.” Lalu Abu Hurairoh memegang lenganku dan berkata, “Wahai Farisy, bacalah fatihah untuk dirimu.”Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud.

d. Hadits ‘Ubaadah bin Shamit, ia berkata “Rasululloh SAW. Sholat subuh dan beliau mengeraskan bacaannya. Setelah selesai sholat, beliau bersabda “Saya melihat kalian membaca dibelakang imam?”kami menjawab, “Benar, demi Allah , wahai rosululloh.” Kemudian rosululloh SAW, bersabda :

“ Laa taf’aluu illa biummil qur’ani fainnahu laa sholaata liman lam yaqro’biha “

Artinya :

“Janganlah kamu semua lakukan, kecuali dengan ummul Qur’an (S.Alfatihah, karena sesungguhnya tidak ada sholat bagi orang yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Hadits-Hadits ini khusus mengenai bacaan makmum, dan semuanya tegas tentang fardu membaca fatihah.

3. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa membaca fatihah itu merupakan salah satu rukun sholat, maka ia tidak dapat gugur dari makmum sebagaimana rukun-rukun lainnya.

c. Ulama Malikiyah tidak mewajibkan dan tidak juga melarang. Hanya pada sholat sir disunatkan membacanya.

d. Ulama Hanabilah tidak mewajibkan dan tidak melarang pada saat tidak terdengar bacaan imam, maka sunat membacanya bagi makmum.

source : http://daikembar.wordpress.com/fiqih/hukum-membaca-sal-fatihah-bagi-makmum/

Belajar Fiqih

Fiqih menurut bahasa memahami, mengerti, yaitu bentuk masdar dari “faqoha” artinya faham, ngerti, pinter dan kepintaran. Sebagaimana sabda Nabi saw : “ man yuridullohu bihi khoironyufaqqihu fiddin “. (H.R Bukhori)

Artinya:

“ Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapat kebajikan, niscaya Allah akan berikan kepadanya ngerti agama“. (H.R Bukhori)

Sedangkan menurut istilah yaitu semua hukum yang dipetik dari Al-Qur’an dan sunnah Rosul melalui usaha pemahaman dan ijtihad (kajian) para Ulama tentang perbuatan orang mukallaf baik hukum wajib, haram, mubah, syah, rukun, atau selain dari itu. Mukallaf itu sendiri ialah orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dari Allah karena telah memenuhi syarat yati , dewasa, berakal (akil baligh) serta mendengar seruan agama.

Ada sebagian ulama yang membagi fiqih kepada 2 (dua) bagian :

1. Fiqih Nabawi, yaitu hukum yang dikemukakan oleh Qur’an dan hadist dan tidak perlu ijtihad lagi.

2. Fiqih Ijtihad, yaitu hukum-hukum hasil ijtihad dan istimbath hukum oleh ahli ijtihad.

Ijtihad itu sendiri adalah mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-sunnah. Dan orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan ini disebut Mujtahid. Sedangkanistimbath artinya mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukakan ijtihad yang didasarkan kepada dalil yang ada dalam Qur’an dan Sunnah.

Hukum Islam yang juga bisa disebut hukum syara’ terbagi menjadi lima hukum :

1. Wajib : yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakann mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa.

Wajib atau fardlu itu itu pun dibagi dua bagian :

a. Wajib ‘ain ; yang mesti dikerjakan oleh setiap orang yang mukallaf sendiri seperti sholat lima waktu, puasa, zakat, dan sebagainya.

b. Wajib kifayah; yaitu suatu kewajiban yang telah dianggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagaian orang mukallaf. Dan berdosalah seluruhnya jika tidak seorang pun dari mereka mengerjakannya

2. Sunnah; yaitu suatu perkara apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan pun tidak berdosa . Sunnah dibagi menjadi dua :

a. Sunah mu’akkad; yaitu sunah yang sangat dianjurkan mengerjakannya seperti sholat tarawih, sholat dua hari raya fitri dan adha, sholat witir, sholat tahajjud dan sebaganya.

b. Sunah ghairu mu’akkad; yaitu sunah biasa.

3. Haram ; yaitu suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat dosa , sepert minum-minuman keras, berdusta, mendurhakai orang tua, memfinah dan sebagainya.

4. Makruh; yaitu suatu perkara apabila dikerjakan tidak berdosa, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala, seperti makan petai dan bawang mentah dan sebagainya.

5. Mubah; yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak mendapat pahala dan tidak pula berdosa, dan jika ditinggalkan tidak berdosa dan tidak mendapat pahala. Jelasnya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.

Pengertian Syarat, Rukun, Sah dan Batal :

1.Syarat

Syarat ialah suatu yang harus ditepati sebelum mengerjakan sesuatu. Kalau syarat-syarat sesuatu itu tidak sempurna maka pekerjaan itu tidak sah.

2. Rukun

Rukuin ialah suatu yang harus dikerjakan dalam memulai suatu pekerjaan, rukun disini berarti bagian yang pokok seperti membaca fatihah daam sholat merupakan pokok bagian sholat. Tegasnya sholat tanpa fatihah tidak sah. Jadi sholat dengan fatihah tidak dapat dipisah-pisahkan.

3.Sah

Sah ialah cukup syarat rukunnya dan betul

4.Batal

Batal artinya tidak cukup syarat rukunnya, atau tidak betul. Jadi apabila sesuatu pekerjaan atau perkara yang tidak memenuhi syarat rukunnya berarti perkara itu tidak sah, atau dianggap batal.

Penulis menyimpulkan Fiqih itu bertujuan untuk mengetahui semua hukum-hukum ibadah dalam ajaran islam yang dipetik dari Al-Qur’an dan Sunnah dari hasil ijtihad para Mujtahid, sepertiThoharohSholatPuasa, ZakatHaji, Munakahat(pernikahan), Muamalah (aktivitas jual beli), dan sebagainya dan permasalahan-permasalahan didalamnya.

Suatu hal yang wajar jika dalam fiqih banyak berbagai pendapat para Ulama dalam menentukan hukum ibadah. Karena hal ini sudah diprediksi oleh baginda Rasul Saw. bahkan beliau bersabda : “Ikhtilafu ummatii rahmatun” yang artinya “perbedaan pendapat diantara umatku itu adalah rahmat”. Jadi dengan adanya perbedaan pendapat antara Ulama itu harus menjadi suatu kesadaran untuk saling menghargai antara sesama umat Islam dan bukan untuk menjadikan perpecahan atau permusuhan seluruh umat Islam.

Di zaman Rasul pun pernah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para empat sahabatnya dalam menentukan salah satu hukum Islam, tetapi semuanya diakui kebenaranya setelah menunjukan alasan-alasan dan dalil-dalil yang ambil dari Al-Qur’an dan As-sunnah.

Banyak sekali perbedaan pendapat para Ulama yang ramai dibicarakan dimasyarakat dalam menentukan suatu hukum Islam didalam beribadah, diantaranya :

Ø Bagaimana hukumnya melapalkan niat sebelum sholat ?

Ø Bagaimana hukumnya membaca Basmallah dalam Fatihah sholat ?

Ø Bagaimana hukumnya membaca surat Al-Fatihah bagi Makmum ?

Ø Bagaimana hukum Qunut dalam sholat Subuh ?

Ø Berapa jumlah rakaat Sholat Tarawih ?

Ø Bagaimana hukumnya Sholat Sunat(bukan sholat fardlu)sambil duduk bagi orang yang mampu berdiri(sehat) ?

Ø Dalam bab Thoharoh apa saja larangan orang yang behadats kecil ?

Ø Bagaimana hukumnya air yang mengalir dan air tenang yang terkena najis ?

Ø Bagaimana ciri air yang menyucikan najis ?

Ø Apa yang menjadikan batal puasa ?

Ø Bagaimana hukumnya puasa wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui ?

Ø Bagaimana hukumnya puasa bagi orang tua renta/kesulitan dan tidak mampu ?

Ø Siapa yang diwajibkan mengeluarka zakat hasil bumi (pemilik atau penyewa) ?

Ø Bagaimana hukumnya zakat gaji ?

Ø Bagaimana hukumnya zakat saham ?

Ø Bagaimana hukumnya zakat obligasi ?

Ø Bagaimana hukumnya menghajikan orang lain ?